Palembang. Berita Suara Rakyat. Com
Arus digital yang deras belum sepenuhnya berbanding lurus dengan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Pola pendidikan yang masih cenderung klasikal dinilai mengekang ruang gerak pelajar, sehingga mereka ibarat berada di dalam “ruang kedap suara” yang sulit menyampaikan gagasan. Kondisi ini, menurut aktivis muda Sumsel Erik Agusdiansyah, justru mendorong pelajar mencari jalan lain, termasuk turun ke jalan dalam berbagai aksi demonstrasi.
“Selama puluhan tahun kita memberikan pelajaran PPKn dan Agama yang sarat nilai moral, tetapi di lapangan pelajar justru lebih sering terjebak pada perilaku tidak tertib. Bahkan akhir-akhir ini, mereka ramai turun aksi di berbagai kota,” ujar Erik, Selasa (30/9/2025).
Fenomena ini, tambahnya, terlihat jelas saat gelombang demonstrasi pelajar pada Agustus–September 2025 yang berujung pada pengamanan 3.337 pelajar di 20 kota. Aksi tersebut bahkan menelan korban jiwa seorang driver online, AFFAN.
Menurut Erik, kondisi itu harus dibaca sebagai alarm bagi dunia pendidikan. “Sistem pendidikan kita membatasi ruang gerak anak. Mereka tidak punya kebebasan mengungkapkan buah pikirannya. Ketika ruang itu tertutup, wajar kalau akhirnya meluap di jalan,” tegasnya.
Melalui Departemen Kajian dan Bacaan Eksekutif Kota Palembang Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (Ek-LMND), Erik menegaskan pentingnya membangun saluran resmi bagi pelajar agar tidak lagi terjebak dalam tindakan anarkis.
Ia mengutip pemikiran filsuf Brasil, Paulo Freire: “Pendidikan bukanlah mengisi bejana, melainkan menyalakan api.” Bagi Erik, pelajar bukan sekadar objek pengetahuan, melainkan subjek yang harus dibekali kemampuan berpikir kritis dan rasional.
“Sekolah sejatinya adalah tempat menyemai warga yang kritis dan bertanggung jawab. Kalau kita ingin mereka peduli sejak dewasa, pendidikan kritis harus dimulai sejak dini. Tapi yang kita lihat hari ini, pemerintah justru melarang pelajar menyampaikan pendapat, baik di media sosial maupun ruang publik. Itu kontradiktif dengan misi pendidikan,” jelasnya.
Dilema saat ini, kata Erik, adalah bagaimana melindungi pelajar sekaligus memberi ruang aman bagi mereka untuk menyampaikan aspirasi. “Melarang hanya akan memperparah masalah. Yang penting adalah bagaimana membuat keterlibatan pelajar tetap sehat, terukur, dan tidak membahayakan,” katanya.
Menurutnya, peran orang tua, sekolah, serta pemangku kepentingan pendidikan seperti Dinas Pendidikan dan Kementerian Pendidikan sangat sentral. Mereka harus bersama-sama membangun kesadaran kritis, kesadaran politik, dan rasa tanggung jawab yang justru bisa lebih ‘menakutkan’ bagi oligarki dibanding aksi anarkis.
Erik menawarkan empat gagasan utama untuk mengubah fenomena demonstrasi pelajar menjadi ruang partisipasi yang lebih konstruktif:
Energi kritis pelajar tidak boleh dipadamkan. Peran orang tua, sekolah, dan pemerintah adalah mengarahkan aspirasi itu ke jalur yang sehat dan produktif.
Integrasi pendidikan politik ke dalam kurikulum berbasis proyek. Misalnya, siswa dilatih mengidentifikasi masalah di komunitas, menganalisis penyebab, lalu menyusun proposal solusi untuk diajukan ke pemerintah daerah. Organisasi pelajar seperti OSIS, IPM, dan lainnya juga perlu diberdayakan menjalankan program sosial dan lingkungan.
Sekolah dapat membentuk forum penulis muda yang dibimbing guru bahasa atau jurnalis lokal. Hasil karya pelajar, seperti opini atau artikel isu sosial, bisa dipublikasikan melalui rubrik khusus “Suara Pelajar” di media lokal.
Dibentuk tim penyuluhan khusus bersama Dinas Pendidikan yang melibatkan akademisi, psikolog, dan aktivis. Tim ini bertugas memberikan sosialisasi tentang hak-hak warga negara, etika berdemokrasi, serta cara berpartisipasi dalam aksi damai.
Bagi Erik, membangun ruang aspirasi bagi pelajar bukanlah pilihan, melainkan keharusan. “Kalau kita terus membungkam, pelajar akan mencari jalannya sendiri yang sering kali tidak terkontrol. Tapi kalau kita memberi ruang yang sehat, mereka bisa tumbuh jadi warga negara kritis, rasional, dan bertanggung jawab,” pungkasnya.(Yanti/rilis)