Palembang. Berita Suara Rakyat. Com
Peringatan 65 tahun Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menjadi momen penting untuk merenungkan tantangan agraria di Indonesia. Presiden Prabowo Subianto secara sederhana menyebut musuh utama rakyat Indonesia saat ini sebagai “kaum serakahnomics” yang dapat diterjemahkan menjadi : pihak asing yang menggerogoti bangsa, kelompok oligarki, dan pejabat korup. Kaum ini menjadi akar konflik agraria, kemiskinan, dan gejolak sosial yang terus menghantui negeri ini.
Konflik agraria, seperti sengketa tanah akibat pengadaan lahan untuk kepentingan tertentu, kerap melibatkan penguasa dan pengusaha. Akibatnya, rakyat kecil sering menjadi korban. Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DT-SEN) per 5 Februari 2025, berdasarkan Inpres Nomor 04 Tahun 2025, mencatat 24 juta orang miskin, termasuk 3,17 juta dalam kemiskinan ekstrem. Presiden Prabowo bertekad menekan kemiskinan ekstrem menjadi nol persen pada 2026 dan menurunkan angka kemiskinan dari 9% menjadi 5% pada 2029. Langkah ini menunjukkan komitmen nyata untuk memperbaiki nasib rakyat, khususnya petani.
Struktur ekonomi Indonesia yang masih agraris menempatkan sektor pertanian sebagai tulang punggung, diikuti sektor industri, jasa, dan perdagangan. Peningkatan Nilai Tukar Petani (NTP) menjadi indikator positif. Pada September 2024, NTP mencapai 120,30, dan naik menjadi 123,57 pada Agustus 2025, meningkat 0,76% dari bulan sebelumnya. Kenaikan ini menunjukkan daya beli petani mulai membaik, didorong oleh harga hasil pertanian yang naik 0,84% dibandingkan biaya produksi yang hanya naik 0,08%. Hasilnya, angka kemiskinan per Maret 2025 turun menjadi 8,47% atau 23,85 juta orang—terendah dalam dua dekade, menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Program seperti sekolah rakyat, layanan kesehatan gratis, dan koperasi desa kelurahan merah putih menjadi bukti langkah nyata pemerintah, meskipun program makan bergizi gratis (MBG) masih perlu perbaikan dalam pelaksanaannya.
Untuk mengatasi “kaum serakahnomics,” Presiden Prabowo mengeluarkan Perpres Nomor 05 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Kebijakan ini menargetkan pengembalian jutaan hektare lahan hutan, termasuk perkebunan sawit ilegal, kepada negara melalui denda administratif, penguasaan kembali lahan, dan pemulihan aset. Langkah ini selaras dengan Pasal 33 UUD 1945, UUPA, dan Perpres Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Reformasi Agraria, yang mendorong legalisasi aset, redistribusi tanah, pemberdayaan petani, dan kelembagaan agraria berbasis partisipasi masyarakat. Kemitraan strategis antara Kementerian ATR/BPN dengan organisasi tani mulai terlihat, meski belum menyeluruh.
Namun, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) masih menghadapi tantangan. Tindakan represif, kurang selektif, dan pengabaian hak masyarakat adat serta petani kecil masih terjadi. Untuk itu, diperlukan persatuan rakyat yang terorganisir dan terpimpin sebagai garda terdepan dalam mengawal pemerintahan nasionalis progresif di bawah Presiden Prabowo. Tanpa dukungan ini, kita berisiko terjebak dalam sikap sinis yang tidak melihat kebaikan dan meragukan niat tulus pemerintah.
Peringatan Hari Tani Nasional ke-65 menggarisbawahi dua langkah penting ke depan. Pertama, penguatan petani melalui organisasi tani dengan pendidikan ideologis dan pelatihan keterampilan berbasis potensi lokal untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah. Kedua, pengembangan infrastruktur, seperti sarana pascapanen, untuk menjaga stabilitas harga, serta konsolidasi kemitraan petani dengan permodalan dari bank negara dan swasta nasional yang kredibel. Langkah ini akan memperkuat kedaulatan pangan, menciptakan lapangan kerja, dan mendukung hilirisasi pertanian.
Mari bersama mendukung langkah nyata menuju kemakmuran petani dan keadilan agraria. Hidup kaum tani!
Tanah, Modal,Teknologi Modern, Murah, Massal untuk Pertanian Kolektif dibawah Kontrol Dewan Tani
Jakarta, 24 Sepetember 2025
Ahmad Rifai (Ketum Pimpinan Pusat Serikat Tani Nelayan)
(Yanti/rilis)