Oleh: Ki Edi Susilo
Sekretaris Jenderal Himpunan Keluarga Tamansiswa Indonesia (HIMPKA Tamansiswa)
Palembang. Berita Suara Rakyat. Com
Bencana yang melanda Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) secara beruntun dan masif bukanlah sekadar takdir alam biasa, melainkan cermin telanjang dari kegagalan sistemik dan sebuah pengkhianatan terhadap narasi kebangsaan. Tragedi ini, mulai dari banjir bandang, longsor, hingga erupsi gunung berapi, secara brutal membuktikan tesis pahit: Republik ini telah menganaktirikan Sumatera.
*Korban Ratusan Jiwa: Disparitas Pembangunan yang Pincang*
Ketika ratusan nyawa melayang—data terakhir menunjukkan lebih dari 300 jiwa meninggal dunia dan ratusan lainnya masih dalam pencarian di tiga provinsi—negara seolah baru tersentak dari tidur panjangnya. Angka ini, yang sebagian besar terkonsentrasi di permukiman dan wilayah yang seharusnya dilindungi, adalah harga mahal dari disparitas pembangunan dan prioritas yang pincang.
Saat Jakarta dan Pulau Jawa berbenah diri dengan pembangunan infrastruktur megah—menelan triliunan APBN—Sumatera, sebagai penyumbang devisa vital melalui sawit, batu bara, dan minyak bumi, justru dibiarkan rentan. Investasi dalam mitigasi bencana dan infrastruktur penunjang di Sumatera jauh tertinggal.
Faktanya, Kawasan perbukitan dan daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi langganan bencana di Sumut dan Sumbar dibiarkan kritis. Infrastruktur pencegah bencana seperti dam penahan dan sistem peringatan dini (EWS) seringkali tidak berfungsi optimal atau tidak memadai untuk skala ancaman geologis Sumatera yang didominasi oleh Patahan Besar Sumatera (Great Sumatran Fault) dan cincin api Pasifik. Kita tidak sekadar berhadapan dengan alam, kita berhadapan dengan kelalaian yang fatal.
*Dana Darurat dan Respons: Lebih Lambat dari Bantuan Negara Tetangga*
Respons negara terhadap krisis di Sumatera sering kali terasa kering dan birokratis, sekaligus sangat lamban. Sementara fokus media dan pusat kekuasaan tersedot oleh isu-isu politik di Jawa, korban-korban di pelosok Sumatera harus menunggu uluran tangan yang tersendat.
Proses pencairan dana rekonstruksi dan rehabilitasi kerap memakan waktu berbulan-bulan. Namun, puncak dari aib ini adalah ketika bantuan kemanusiaan dari negara tetangga, Malaysia, justru dilaporkan tiba di Aceh dengan membawa obat-obatan dan tenaga medis, bahkan sebelum bantuan logistik skala besar dari Pemerintah Pusat tuntas didistribusikan ke seluruh titik bencana. Ironi yang menyakitkan.
Pemerintah kita terkesan gagap di kandang sendiri, sementara tetangga sebelah lebih “Gercep” (gerak cepat) merespons tragedi kemanusiaan di halaman depan Republik.
*Lingkungan Dikorbankan demi Eksploitasi Pusat*
Pemicu utama bencana hidrometeorologi ini tidak bisa dilepaskan dari eksploitasi sumber daya alam secara masif. Hutan-hutan yang berfungsi sebagai penjaga air kini beralih fungsi menjadi perkebunan monokultur dan pertambangan. Penebangan liar dan perizinan yang serampangan di hulu sungai telah menghilangkan daya dukung ekologis lahan. Ini adalah kejahatan ekologis yang difasilitasi oleh kebijakan pusat dan daerah yang hanya berorientasi pada keuntungan korporasi, tanpa memedulikan keselamatan rakyat.
*Mendesak Revolusi Kebijakan Sentralistik Demi Keutuhan Bangsa*
Jika bencana di Sumatera ini terus dianggap sebagai “urusan daerah” yang hanya perlu ditangani secara sporadis, maka narasi kebangsaan “dari Sabang sampai Merauke” hanyalah omong kosong belaka.
Kami HIMPKA Tamansiswa menutut
*Revisi Total Prioritas APBN*: Alihkan fokus pembangunan yang berlebihan di Jawa untuk memperkuat infrastruktur mitigasi bencana di daerah rawan, termasuk penguatan EWS dan pembangunan fisik pencegah bencana.
*Audit Lingkungan dan Moratorium Perizinan Eksploitatif:* Hentikan segera pemberian izin baru di kawasan hulu dan lakukan audit ketat terhadap korporasi yang terbukti berkontribusi pada deforestasi.
*Penguatan Kapasitas Daerah*: Transfer anggaran dan teknologi yang memadai untuk BPBD di Sumatera agar dapat merespons secara cepat dan mandiri.
*”Persatuan dan kesatuan tidak dapat dicapai bila tidak ada rasa keadilan dan kesamaan derajad di antara sesama warga negara.”* — Ki Hadjar Dewantara.
Pesan Sang Bapak Pendidikan Nasional tersebut adalah gema yang menampar wajah Republik hari ini. Lebih dari 300 nyawa yang menjadi korban, bantuan negara yang tersusul oleh bantuan dari Malaysia, adalah bukti nyata bahwa negara telah merobek rasa keadilan itu sendiri.
Kegagalan memastikan keselamatan dan keadilan bagi rakyat di Sumatera adalah kegagalan menjaga persatuan. Jangan biarkan air mata dan darah rakyat Sumatera menjadi bukti abadi bahwa mereka adalah anak tiri dalam bingkai Ibu Pertiwi.
Narasi Kebangsaan Terkoyak, Bencana Sumatera: Ketika Bantuan Malaysia Lebih Cepat dari Ibu Pertiwi
Oleh: Ki Edi Susilo
Sekretaris Jenderal Himpunan Keluarga Tamansiswa Indonesia (HIMPKA Tamansiswa)
Palembang. Berita Suara Rakyat. Com
Bencana yang melanda Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) secara beruntun dan masif bukanlah sekadar takdir alam biasa, melainkan cermin telanjang dari kegagalan sistemik dan sebuah pengkhianatan terhadap narasi kebangsaan. Tragedi ini, mulai dari banjir bandang, longsor, hingga erupsi gunung berapi, secara brutal membuktikan tesis pahit: Republik ini telah menganaktirikan Sumatera.
*Korban Ratusan Jiwa: Disparitas Pembangunan yang Pincang*
Ketika ratusan nyawa melayang—data terakhir menunjukkan lebih dari 300 jiwa meninggal dunia dan ratusan lainnya masih dalam pencarian di tiga provinsi—negara seolah baru tersentak dari tidur panjangnya. Angka ini, yang sebagian besar terkonsentrasi di permukiman dan wilayah yang seharusnya dilindungi, adalah harga mahal dari disparitas pembangunan dan prioritas yang pincang.
Saat Jakarta dan Pulau Jawa berbenah diri dengan pembangunan infrastruktur megah—menelan triliunan APBN—Sumatera, sebagai penyumbang devisa vital melalui sawit, batu bara, dan minyak bumi, justru dibiarkan rentan. Investasi dalam mitigasi bencana dan infrastruktur penunjang di Sumatera jauh tertinggal.
Faktanya, Kawasan perbukitan dan daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi langganan bencana di Sumut dan Sumbar dibiarkan kritis. Infrastruktur pencegah bencana seperti dam penahan dan sistem peringatan dini (EWS) seringkali tidak berfungsi optimal atau tidak memadai untuk skala ancaman geologis Sumatera yang didominasi oleh Patahan Besar Sumatera (Great Sumatran Fault) dan cincin api Pasifik. Kita tidak sekadar berhadapan dengan alam, kita berhadapan dengan kelalaian yang fatal.
*Dana Darurat dan Respons: Lebih Lambat dari Bantuan Negara Tetangga*
Respons negara terhadap krisis di Sumatera sering kali terasa kering dan birokratis, sekaligus sangat lamban. Sementara fokus media dan pusat kekuasaan tersedot oleh isu-isu politik di Jawa, korban-korban di pelosok Sumatera harus menunggu uluran tangan yang tersendat.
Proses pencairan dana rekonstruksi dan rehabilitasi kerap memakan waktu berbulan-bulan. Namun, puncak dari aib ini adalah ketika bantuan kemanusiaan dari negara tetangga, Malaysia, justru dilaporkan tiba di Aceh dengan membawa obat-obatan dan tenaga medis, bahkan sebelum bantuan logistik skala besar dari Pemerintah Pusat tuntas didistribusikan ke seluruh titik bencana. Ironi yang menyakitkan.
Pemerintah kita terkesan gagap di kandang sendiri, sementara tetangga sebelah lebih “Gercep” (gerak cepat) merespons tragedi kemanusiaan di halaman depan Republik.
*Lingkungan Dikorbankan demi Eksploitasi Pusat*
Pemicu utama bencana hidrometeorologi ini tidak bisa dilepaskan dari eksploitasi sumber daya alam secara masif. Hutan-hutan yang berfungsi sebagai penjaga air kini beralih fungsi menjadi perkebunan monokultur dan pertambangan. Penebangan liar dan perizinan yang serampangan di hulu sungai telah menghilangkan daya dukung ekologis lahan. Ini adalah kejahatan ekologis yang difasilitasi oleh kebijakan pusat dan daerah yang hanya berorientasi pada keuntungan korporasi, tanpa memedulikan keselamatan rakyat.
*Mendesak Revolusi Kebijakan Sentralistik Demi Keutuhan Bangsa*
Jika bencana di Sumatera ini terus dianggap sebagai “urusan daerah” yang hanya perlu ditangani secara sporadis, maka narasi kebangsaan “dari Sabang sampai Merauke” hanyalah omong kosong belaka.
Kami HIMPKA Tamansiswa menutut
*Revisi Total Prioritas APBN*: Alihkan fokus pembangunan yang berlebihan di Jawa untuk memperkuat infrastruktur mitigasi bencana di daerah rawan, termasuk penguatan EWS dan pembangunan fisik pencegah bencana.
*Audit Lingkungan dan Moratorium Perizinan Eksploitatif:* Hentikan segera pemberian izin baru di kawasan hulu dan lakukan audit ketat terhadap korporasi yang terbukti berkontribusi pada deforestasi.
*Penguatan Kapasitas Daerah*: Transfer anggaran dan teknologi yang memadai untuk BPBD di Sumatera agar dapat merespons secara cepat dan mandiri.
*”Persatuan dan kesatuan tidak dapat dicapai bila tidak ada rasa keadilan dan kesamaan derajad di antara sesama warga negara.”* — Ki Hadjar Dewantara.
Pesan Sang Bapak Pendidikan Nasional tersebut adalah gema yang menampar wajah Republik hari ini. Lebih dari 300 nyawa yang menjadi korban, bantuan negara
(Yanti/rilis)











