Refleksi Hari ABRI 5 Oktober 2025: Sinergi Tiga Matra TNI Dalam Menjaga dan Mempertahankan NKRI

Palembang. Berita Suara Rakyat. Com

Sebuah Janji pada Ibu Pertiwi, Hari ini, 5 Oktober 2025, bangsa Indonesia kembali menundukkan kepala dengan penuh hormat.

 

Di bawah merah putih yang berkibar di langit biru pagi nan cerah, kita mengenang lahirnya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang kini kita sebut Tentara Nasional Indonesia (TNI).

 

 

Sejak 1945 hingga kini, enam puluh delapan tahun lebih TNI berdiri sebagai benteng yang menjaga dan mempertahankan bangsa ini tetap tegak, tetap berdaulat, dan tetap merdeka, demikian diutarakan Direktur PPs Universitas Muhammadiyah (UM) Palembang, Pengajar Madya Alumni Diklat PIP-BPIP Angkatan I Tahun 2024, dan Ketua MPD Orda ICMI Kota Palembang Mukhtarudin Muchsiri.

 

Direktur PPs UM Palembang, Pengajar Madya Alumni Diklat PIP-BPIP Angkatan I Tahun 2024, dan Ketua MPD Orda ICMI Kota Palembang

Mukhtarudin Muchsiri, hari ABRI bukanlah sekadar momentum seremonial. Ia adalah refleksi. Ia adalah panggilan nurani. Ia adalah pengingat bahwa negeri ini dibangun bukan di atas hamparan karpet merah, melainkan di atas darah, air mata, dan keringat para pejuang yang bersumpah takkan menyerahkan sejengkal pun tanah air kepada siapapun, selain kepada anak cucu bangsa sendiri.

 

Indonesia, negeri kepulauan yang maha luas: lebih dari 17.000 pulau bertebaran bagai zamrud khatulistiwa, dijahit oleh lautan yang lebih luas dari daratannya, dan dijaga oleh langit yang membentang tanpa ujung.

 

“Dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Rote, setiap jengkal tanah, setiap tetes air laut, setiap hembusan angin di angkasa adalah tumpah darah Indonesia,” ujarnya.

 

Kemudian, tetapi, justru karena keluasan itu, ancaman selalu datang silih berganti. Musuh kadang datang dengan kapal perang, kadang dengan perahu nelayan pencuri ikan, kadang dengan jaringan teror, kadang pula dengan senjata yang tak terlihat: perang informasi, perang ekonomi, hingga perang siber.

 

Dalam wajahnya yang berubah-ubah, satu pesan tetap abadi: Indonesia harus dijaga, atau ia akan dikoyak dan direbut. Tantangan dan rongrongan zaman, di lautan luas, kapal-kapal asing kerap mencuri ikan, merampas hasil laut Nusantara, seolah-olah negeri ini tak ber-penguasa.

“Di perbatasan darat, penyelundupan, separatisme, hingga infiltrasi ideologi mencoba menggoyahkan persatuan dan memporak-porandakan kesatuan. Di udara, pelanggaran wilayah dan ancaman serangan jarak jauh menuntut kewaspadaan tinggi,” ungkapnya.

 

Dilanjutkannya, dan kini, di abad ke 21, perang tak lagi hanya berwujud tembakan senjata. Ada perang hibrida yang membius pikiran melalui informasi palsu. Ada perang siber yang menyusup ke infrastruktur vital. Ada perang ekonomi yang melemahkan daya juang rakyat.

 

Semua itu adalah ujian untuk menegaskan kembali: apakah kita masih kuat, ataukah kita akan menyerah? Jawabannya, seperti yang diajarkan sejarah, selalu sama: Indonesia tidak akan pernah menyerah. Sinergi Tiga Matra yakn darat, laut, dan udara.

 

 

“Kekuatan Indonesia bukan hanya terletak pada jumlah pasukan atau canggihnya alat utama system senjata (alutsista). Kekuatan terbesar Indonesia adalah sinergi: tiga matra TNI Darat, Laut, dan Udara yang bergerak bagai tiga sayap garuda, kokoh menjaga bumi, laut, dan angkasa Nusantara,” katanya.

 

Masih dilanjutkannya, TNI Angkatan Darat (AD), Penjaga Bumi Pertiwi, Di tapal batas negeri, di gunung dan lembah, di hutan belantara, di pelosok dan desa hingga kota besar, prajurit Angkatan Darat berdiri tegak penuh dedikasi. Mereka adalah para Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang hadir di tengah rakyat, memastikan bahwa pertahanan bukan hanya tugas tentara, melainkan doktrin semesta.

 

Dari zaman gerilya Jenderal Soedirman yang memimpin perang dalam kondisi sakit, hingga prajurit masa kini yang menjaga perbatasan Papua dan Kalimantan, Angkatan Darat adalah saksi bahwa bumi pertiwi tidak pernah dibiarkan dalam kesendirian dan sepi dari jejak napak tilas dan jangkauan prajurit TNI.

 

“Pesan Soedirman masih bergema yakni “Kami lebih suka hancur lebur daripada dijajah kembali.” Sedangkan TNI Angkatan Laut (AL) yakni Penguasa Samudera Nusantara, Laut Indonesia bukan hanya ruang pemisah, melainkan penghubung. Ia adalah jalur ekonomi, jalur energi, jalur kehidupan,” ucapnya.

 

Masih diungkapkannya, tetapi laut juga sering menjadi titik rawan: illegal fishing, pencurian sumber daya, hingga ancaman geopolitik. TNI AL hadir dengan kapal perang yang berlayar siang dan malam, dengan kapal selam yang senyap di kedalaman, dengan marinir yang siap mendarat di garis depan.

 

Semangat mereka mewarisi jejak Laksamana Malahayati, pahlawan perempuan yang berani menantang armada asing: “Laut bukan tempat bagi musuh. Laut adalah benteng kehormatan bangsa.”

 

 

“TNI Angkatan Udara (AU) yakni Pengawal Angkasa Nusantara, Langit adalah mahkota kedaulatan. Siapa yang menguasai langit, ia menguasai perang. TNI AU adalah perisai yang memastikan langit Indonesia tidak ternodai,” imbuhnya.

 

 

Masih disampaikannya, dengan jet tempur generasi terbaru, radar yang mengintai jauh, dan pasukan khusus yang siap diterjunkan, TNI AU menjaga bahwa setiap pesawat asing yang coba-coba memasuki ruang udara Nusantara akan segera dihadang.

 

Rawe-rawe rantas malang-malang tuntas.

 

Mereka melanjutkan tradisi keberanian Opsau AURI di masa lalu seperti Sersan Mayor Udara Maimun Saleh yang merupakan putra Aceh, kini diperkuat dengan visi pertahanan antariksa, sebab masa depan peperangan bukan hanya di bumi, tetapi juga di orbit.

 

“Sinergi yakni Jiwa yang Satu, Ketiga matra itu bukanlah tiga tubuh terpisah. Mereka adalah satu jiwa, satu komando, dan satu nafas. Di bawah koordinasi Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan), operasi darat, laut, dan udara dipadukan menjadi satu kekuatan terpadu yang luar biasa kukuh teguh berlapis Bagai benteng baja,” bebernya.

 

 

Ditambahkannya, mereka bukan sekadar tentara profesional. Mereka adalah tentara rakyat. TNI lahir dari rahim bangsa, berjuang bersama rakyat, dan kembali kepada rakyat. Doktrin pertahanan rakyat semesta memastikan bahwa dalam keadaan darurat, setiap warga negara adalah prajurit.

 

Dimensi Heroisme dan Spirit Kebangsaan Sejarah bangsa ini penuh dengan kisah heroik, di hutan Jawa, Soedirman yang sakit paru-paru tetap memimpin perang gerilya dengan tandu. Di laut Malaka, Malahayati memimpin 200 kapal perang melawan Portugis, membuktikan bahwa perempuan pun sanggup menjadi panglima perang.

 

“Di langit Yogyakarta, pesawat-pesawat AURI pertama kali menggetarkan dunia, menunjukkan bahwa Indonesia merdeka tidak hanya di darat, tetapi juga di udara.Kisah-kisah itu adalah cermin, bahwa keberanian adalah warisan abadi prajurit Indonesia,” jelasnya.(Anton)

 

 

Pos terkait