Palembang. Berita Suara Rakyat. Com
Dalam rangka menegakkan keadilan dan menjaga warwah hukum sekaligus membumikan asas dan prinsip lingkungan khusunya Prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) dan Prinsip Keadilan dalam Satu Generasi (Intragenerational Equity) dan Antar Generasi (Intergenerational Equity), tiga warga Kota Palembang yang tergabung dalam Komite Aksi Penyelamat Lingkungan (KPAL) mengajukan Gugatan terhadap Walikota Palembang incasu Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpatu Satu Pintu ke Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang. Objek Gugatan berupa Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) Palembang Indah Mall PT. Musi Lestari Indo Makmur yang mengandung cacat hukum serius dan bertentangan dengan prinsip-prinsip fundamental dalam lingkungan hidup dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Kuasa Hukum Penggugat Palembang Indah Mall yakni PT. Musi Lestari Indo Makmur Turiman SH mengatakan, kritik Terhadap Kekuasaan yang Sembrono dan Proyek tanpa pengendalian lingkungan dan peran masyarakat.
Para Penggugat dalam Gugatannya menegaskan Objek Sengketa PBG tanggal 13 Juni 2023, diterbitkan secara sembrono, cacat prosedur, bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik dan tanpa adanya pengendalian lingkungan hidup serta partisipasi masyarakat.
“Kami menemukan sejumlah pelanggaran serius, mulai dari penggunaan dasar hukum yang keliru, penerbitan yang tidak melalui prosedur teknis yang semestinya, hingga pengabaian partisipasi masyarakat dan dokumen lingkungan hidup. Ini bukan sekadar cacat administratif, ini cacat hukum yang berdampak langsung pada kepastian hukum dan hak-hak warga,” ujar Turiman, saat konfrensi pers, Rabu (25/6/2025).
Para Penggugat dalam Gugatanya menegaskan adanya 5 (lima) pelanggaran yang dijadikan alasan Gugatan yaitu:
1.Penggunaan Dasar Hukum yang Salah Kaprah.
PBG tanggal 13 Juni 2023 diterbitkan dengan merujuk Perpu No. 2 Tahun 2022, padahal sejak tanggal 31 Maret 2023, telah diterbitkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2023, sehingga Perpu No. 2 Tahun 2022 kehilangan daya ikatnya karena digantikan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. Tindakan ini menunjukkan kekeliruan fatal dalam aspek legalitas normatif yang merusak kepastian hukum.
2. Diterbitkan Tanpa Tahapan Prosedural.
Berdasarkan Pasal 253 dan Pasal 254 PP 16/2021, penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung wajib melalui 2 (dua) tahapan yaitu tahap konsultasi dan tahap penerbitan perijinan dalam kurun waktu 28 hari kerja. Namun pada konsideran “membaca” PBG, diketahui jika permohonan diajukan tanggal 13 Juni 2023 dan diterbitkan ditanggal yang sama yakni tanggal 13 Juni 2023. Fakta ini mencerminkan rendahnya kecermatan dan akuntabilitas pejabat publik.
3.Tidak Melibatkan Partisipasi Warga.
Dalam PP No 16 Tahun 2021, konsep dasar perancangan tata bangunan dan lingkungan didasarkan pada semangat pengendalian dampak lingkungan dan pembangunan berbasis peran masyarakat. Konsep ini selaras dengan nilai No One Left Behind (tidak satu orang pun yang tertinggal) yang merupakan salah satu nilai dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) dianut Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun faktanya, salah satu Penggugat yang merupakan warga yang berbatasan langsung dan berjarak hanya ±100 M, tidak pernah diberitahui, diajak diskusi, atau dilibatkan dalam bentuk sosialisasi apapun. Bahkan berdasarkan keterangan ketua RT dan Ketua RW. 08 yang dijadikan saksi oleh Pemerintah Kota Palembang, mereka hanya sekali, untuk pertama dan terakhir diberikan sosialisasi pembangunan PIM pada Desember 2024 satu tahun setelah PBG terbit. Fakta ini melanggar prinsip inclusive governance yang menjadi ruh dalam sistem administrasi negara demokratis.
4.Penerbitan Tanpa Dokumen Lingkungan Hidup yang Sah.
Aspek penting dan mendasar serta paling berbahaya secara konstitusional dan ekologis adalah tidak disertainya Dokumen Lingkungan Hidup dalam penerbitan PBG. Dalam sistem hukum lingkungan Indonesia, izin lingkungan bukan sekadar formalitas administratif, tetapi merupakan instrumen utama pencegahan kerusakan lingkungan hidup, sebagaimana dimandatkan oleh:
Pasal 2 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab menjamin hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat;
Pasal 14 UU PPLH, yang mengharuskan dokumen lingkungan hidup dan perizinan menjadi alat kendali utama pencegahan kerusakan lingkungan;
Pasal 40 ayat (1) UU PPLH jo. Pasal 3 ayat (3) PP No. 22 Tahun 2021, yang dengan tegas menyatakan bahwa seluruh kegiatan usaha hanya dapat dilakukan setelah adanya izin lingkungan.Lampiran Permen LHK No. 4 Tahun 2021, yang menyebut bahwa bangunan dengan luas di atas 20.000 m² untuk fungsi usaha wajib memiliki AMDAL dan Persetujuan Lingkungan Hidup.
Secara faktual, proyek Palembang Indah Mall memiliki luas 26.254 m² yang berdasarkan Permen LH No. 4/2021, merupakan kegiatan yang wajib memiliki AMDAL dan tentu saja wajib mempunyai Persetujuan Lingkungan Hidup sebagai prasyarat terbitnya ijin-ijin lain dan merujuk Diktum Ketiga angka 1 dan Diktum Keenam Keputusan Walikota Palembang Nomor 44 Tahun 2004, Tentang Kelayakan Lingkungan Kegiatan Andal, RKL dan RPL, Palembang Indah Mall diketahui secara sederhana diketahui jika PT. Musi Lestari Indo Makmur selaku Pemrakarsa melakukan perubahan rencana usaha dan/atau kegiatan harus melakukan revisi atau apabila terdapat perluasan, pemindahan dan/atau perubahan rencana kegiatan wajib dilakukan studi Amdal yang baru.
Namun demikian, faktanya PBG PIM diterbitkan oleh Pemerintah Kota Palembang, padahal berdasarkan Surat Kepala Dinas Lingkungan Hidup Propinsi Sumsel No. 660/0570/DLHP/B.I/2025 tanggal 06 Mei 2025 tentang Penghentian Sementara Kegiatan Kontrusi PIM, ditemukan bukti bahwa hingga saat ini Amdal Pembangunan PIM sedang berproses dan belum selesai.
Fakta ini merupakan bentuk pengabaian serius terhadap asas kehati-hatian dan tanggungjawab negara dalam pengelolaan lingkungan hidup, yang tentu berbanding terbalik dengan slogan dan citra yang selama ini dibangun oleh Pemerintah Kota Palembang. Selain itu, menimbulkan prasangka “dimana ada perijinan yang cacat selalu ada mafia yang bersemayam”.
*Desakan Pembatalan dan Penegakan Hukum
Melalui gugatan ini, Para Penggugat berharap agar Majelis Hakim PTUN Palembang tidak sekadar menilai kebenaran formil, tetapi juga mengedepankan substansi keadilan ekologis seperti asas-asas dan prinsip-prinsip lingkungan hidup yang terkandung dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 PPLH dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 36/KMA/SK/II/2013 dalam menilai Objek Sengketa PBG.
“Kami tidak sedang menghambat pembangunan, tetapi justru menyelamatkan marwah penyelenggaraan pemerintahan dari praktik-praktik maladministrasi yang semakin banal. Bangunan fisik tanpa legitimasi hukum hanyalah simbol kuasa, bukan produk dari etika konstitusional,” tegas Kuasa Hukum Penggugat.
Lebih dari itu, gugatan ini hendaknya menjadi pengingat bahwa setiap keputusan publik wajib diuji dalam tiga dimensi: legalitas normatif, prosedur administratif, dan etika kekuasaan. Negara hukum bukan hanya milik pejabat, tapi juga milik rakyat yang sadar akan hak-haknya.
*Ketidakadilan dalam Peradilan.
Ketimpangan perlakukan hukum nyata diperlihatkan dalam proses persidangan. Majelis Hakim yang semestinya menjadi pengawal imparsialitas persidangan, menerapkan asas domini litis principle membantu Penggugat untuk menyeimbangkan kedudukan Warga dengan Pemerintah dalam sengketa TUN dan menggunakan doktrin in dubio pro natura dengan mengambil l keputusan yang mengutamakan kepentingan perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup, justru menunjukkan gejala keberpihakan yang mengkhawatirkan:
Permohonan Tergugat dan Tergugat II Intervensi untuk menunda pengajuan jawaban, duplik, maupun alat bukti dikabulkan secara terus-menerus, bahkan hingga berbulan-bulan.
Sebaliknya, permohonan Para Penggugat untuk menghadirkan saksi tambahan dan ahli secara patut ditolak secara sepihak, padahal waktu sidang masih memungkinkan;
Permohonan untuk pemeriksaan setempat guna memastikan secara faktual dampak langsung pembangunan terhadap lingkungan dan tempat tinggal Penggugat III juga ditolak, tanpa alasan proporsional;
Bahkan, permohonan agar Tergugat selaku pejabat Tata Usaha Negara menghadirkan bukti asli yang berada dalam penguasaannya, juga ditolak oleh majelis, padahal bukti tersebut penting untuk menguji keabsahan keputusan.
“Kami sangat menyayangkan kecenderungan proses persidangan yang tidak adil ini. Ada kesan kuat bahwa penggugat yang notabene warga biasa, dianggap sebagai pihak yang mengganggu arus besar pembangunan, sementara pejabat dan pengusaha mendapatkan kelonggaran prosedural tanpa batas. Ini bukan sekadar masalah hukum administratif, ini adalah soal legitimasi etika peradilan,” ujar Kuasa Hukum Para Penggugat.
*Ajakan untuk berjuang demi keadilan ekologis.
Melalui gugatan ini, Para Penggugat mengingatkan kita semua: pejabat publik, pelaku usaha, maupun hakim, bahwa hukum dan kekuasaan itu tidak netral secara moral. Setiap tindakan yang mengatasnamakan publik harus diuji secara etik, legal, dan sosial. Karena pada akhirnya, kekuasaan yang lepas dari kontrol hukum dan etik akan menjadi sumber dari kerusakan paling nyata bagi hukum, bagi lingkungan, dan bagi demokrasi itu sendiri dan mengajak seluruh elemen dan lapisan masyarakat: partai politik, Organisasi Masyarakat, Pegiat dan Aktivis serta masyarakat pada umumnya untuk bersama-sama memperjuangkan terwujudnya tatanan lingkungan hidup yang sehat dan baik khususnya di Kota Palembang.
Sementara itu, General Manager Palembang Indah Mall saat dikonfirmasi dihubungi via WhatsApp belum memberikan tanggapan. Bahkan saat ditelpon tidak mengangkat telepon. (Yanti)