Meretas Degradasi Prestasi Olahraga Nasional: Bakat dan Meritokrasi di Atas Segala-galanya

OPINI: Daeng Supri Yanto SH MH CMS.P

Palembang. Berita Suara Rakyat. Com

Olimpiade, Asian Games, SEA Games—panggung megah yang seharusnya menjadi etalase gemilang prestasi olahraga Indonesia, kini justru kerap kali menyisakan getir kekecewaan. Bukan karena kurangnya semangat juang para atlet, melainkan karena sistem yang rapuh, yang alih-alih menjunjung tinggi meritokrasi, justru terperangkap dalam labirin kepentingan dan relasi emosional.

 

Bakat Terpendam, Sistem Terpasung

 

Kita berbicara tentang atlet-atlet potensial, yang sejak usia dini telah menunjukkan bakat dan dedikasi luar biasa pada cabang olahraga masing-masing. Mereka berlatih keras, mengasah kemampuan, dan bermimpi untuk mengharumkan nama bangsa. Namun, mimpi itu seringkali kandas di tengah jalan, bukan karena kurangnya kemampuan, melainkan karena terbentur tembok tebal bernama “like and dislike” atau suka dan tidak suka.

 

Penyaringan atlet, yang seharusnya menjadi proses objektif berdasarkan tolok ukur prestasi, justru tercemar oleh subjektivitas pengurus cabang olahraga atau kalangan tertentu. Kedekatan emosional, koneksi personal, atau bahkan kepentingan bisnis, seringkali menjadi faktor penentu, mengalahkan pertimbangan kualitas dan potensi atlet.

 

Degradasi Prestasi: Konsekuensi Logis

 

Ketika atlet yang benar-benar berprestasi tersingkir, digantikan oleh mereka yang “lebih disukai” atau “lebih dekat”, maka degradasi prestasi adalah konsekuensi logis yang tak terhindarkan. Bagaimana mungkin kita bisa bersaing di kancah internasional jika bibit-bibit unggul kita dipendam, sementara yang medioker justru diberi panggung?

 

Fenomena ini bukan hanya terjadi di level nasional, melainkan sudah mengakar sejak penyaringan di tingkat daerah. Mulai dari Pekan Olahraga Kecamatan (Porcam), Pekan Olahraga Kabupaten/Kota (Porkab/Porkot), Pekan Olahraga Provinsi (Porprov), hingga Pekan Olahraga Nasional (PON), sistem yang korup ini terus berulang, menghasilkan atlet-atlet yang “dipoles” bukan “diasah”.

 

Analisis: Akar Masalah dan Solusi

 

Akar masalahnya terletak pada kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem pembinaan dan seleksi atlet. Pengurus cabang olahraga seringkali memiliki kekuasaan yang terlalu besar, tanpa pengawasan yang memadai. Akibatnya, mereka leluasa untuk melakukan praktik nepotisme, favoritisme, atau bahkan korupsi.

 

Solusinya adalah reformasi total sistem pembinaan dan seleksi atlet. Pemerintah harus membentuk badan independen yang bertugas mengawasi dan mengevaluasi kinerja pengurus cabang olahraga. Badan ini harus memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi tegas kepada pengurus yang terbukti melakukan pelanggaran.

 

Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan transparansi dalam pengelolaan dana pembinaan atlet. Setiap rupiah yang dikeluarkan harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada publik. Dengan demikian, potensi korupsi dapat diminimalkan.

 

Meritokrasi: Harga Mati Prestasi Olahraga

 

Kita harus kembali kepada prinsip dasar meritokrasi: hanya mereka yang benar-benar berprestasi yang berhak mendapatkan kesempatan. Tidak ada tempat bagi nepotisme, favoritisme, atau kepentingan pribadi dalam dunia olahraga.

 

Jika kita ingin melihat prestasi olahraga Indonesia kembali bersinar di kancah internasional, maka kita harus berani melakukan perubahan mendasar. Kita harus membersihkan sistem dari praktik-praktik korup dan memastikan bahwa bakat dan kemampuan atlet menjadi satu-satunya tolok ukur keberhasilan.

 

Hanya dengan cara itulah kita dapat meretas degradasi prestasi olahraga nasional dan mewujudkan mimpi Indonesia menjadi bangsa yang disegani di bidang olahraga.

 

Pos terkait